‘Diam-diam menyusupi institusi publik’: 20 tahun setelah bom Bali, ancaman Jemaah Islamiyah masih menengintai


Dalam video yang dirilis pihak kepolisian pada Januari tahun lalu, Para mengaku menjabat posisi amir atau pemimpin tertinggi setelah pendahulunya, Zarkasih, tertangkap pada tahun 2007.

“Memang saya menjabat (amir) di masa yang sulit ya. Di situlah kami harus membangun kembali”, ungkapnya kepada kepolisian. Ia menambahkan, jaringan ini porak-poranda setelah ratusan anggota pentingnya tertangkap maupun tertembak mati.

Menurut Para, ia segera meninggalkan pedoman lama warisan para pendahulunya dan mengembangkan sistem rancangannya sendiri, yakni Total Amniah System (Sistem Keamanan Total) dan Total Solutions (Solusi Total), disingkat TASTOS.

Menurut dokumen pengadilan dari persidangan Para, pedoman baru tersebut merinci bagaimana orang-orang jaringan perlu menarik simpati publik dan anggota-anggota baru, sekaligus menumbuhkan loyalitas anggota. Aneka upaya itu dilakukan melalui badan-badan amal dan berbagai ekonomi program.

Pedoman tersebut juga merinci bagaimana kader JI perlu dilatih guna mengisi posisi-posisi strategis dalam birokrasi Indonesia agar dapat mengubah sistem dari dalam, atau mampu menjadi birokrat ketika tujuan mendirikan kekhalifahan Islam nantinya tercapai.

“Beda amir beda-beda juga kebijakannya, tapi di masa (kepemimpinan) Para, perubahannya signifikan”, ujar mantan teroris Badawi Rahman saat diwawancarai CNA di sebuah masjid kecil di dekat rumahnya di Semarang, Jawa Tengah.

“Cita-cita (JI) tetap sama, mendirikan khilafah Islamiyah. Caranya saja yang berubah. Buat anggota-anggota JI lama, syahid itu tujuan, jihad itu tujuan. Padahal sebetulnya bukan. Itu cuma sarana untuk mencapai tujuan”, paparnya. Badawi pernah menjabat kepala keamanan di bawah Para.